Sudarnoto lahir di Kauman, Banjarnegara pada tanggal 3 Februari 1959 sebagai anak sulung dari pasangan Zaini Ibrohim-Samhah. Ia menikah dengan Nuraina Silin asal Kepulauan Riau. Keduanya dikaruniai empat orang anak yakni Farah, Abi, Sarah dan Januar.
Selain itu, Sudarnoto memiliki dua menantu perempuan, Kiki dan Wega, serta dua cucu, Kinanti dan Kemala.
Karena dedikasi dan tekadnya, Sudarnoto dikenal sebagai tokoh akademis dan aktivis Muhammadiyah yang berhasil banyak melahirkan karya tulis dan analisis mendalam di bidang sejarah dan politik Islam di Asia Tenggara.
Sudarnoto sejak kecil sangat tertarik mencermati isu-isu Islam dan politik, karena terinspirasi dari ayahnya yang saat itu mendukung dan mengagumi gagasan tokoh-tokoh Partai Politik Islam Masyumi, seperti Perdana Menteri Natsir.
Atas petunjuk ayahnya, Sudarnoto bersekolah di Pondok Pesantren Persis Bangil dekat Pasuruan. Pondok pesantren ini dijalankan oleh putra reformis A. Hasan yang merupakan guru M. Natsir dan Presiden Soekarno.
Dengan menyekolahkan Sudarnot ke pesantren, sang ayah berharap anaknya kelak bisa menjadi pemimpin yang memiliki koneksi ideologis dan intelektual seperti tokoh Masyumi dan pemimpin bangsa dan negara lain.
Harapan ini selalu terpatri dalam ingatan dan hati Sudarnot, sehingga memotivasinya untuk gemar membaca buku tentang pemimpin, negara, dan politik sejak SMA.
Perhatiannya terhadap persoalan politik dan agama semakin kuat, terutama pasca pemilu di Indonesia pada tahun 1973. Di era Presiden Soeharto, aspirasi bahkan kekuatan politik Islam terpinggirkan yang diwakili oleh Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Kekuatan Islam di bidang lain juga melemah dengan ditetapkannya Pancasila sebagai sila tunggal.
Sejak saat itu, Sudarnoto terinspirasi untuk mengkaji lebih dalam ketegangan antara Islam dan politik negara. Padahal, menurutnya, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sudah cukup menjadi landasan untuk menyelesaikan perbedaan tersebut.
Pendidikan
Setelah lulus dari Pondok Pesantren Sudarnoto, ia melanjutkan pendidikan tingginya di Fakultas Adab Institut Agama Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta (sekarang UIN). Pada jenjang Bachelor of Arts (BA), Sudarnoto menulis skripsi tentang konflik politik antara sahabat Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abu Sufyan.
Ia kemudian melanjutkan ke jenjang PhD dan Sudarnoto menulis tesis tentang perjalanan dan pemikiran Ki Bagus Hadikusum, salah satu tokoh penting anggota BPUPKI yang menjadi kunci Pancasila yang saat ini menjadi landasan falsafah negara. bangsa Indonesia. setelah mencoret tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Ki Bagus adalah ketua PP. Muhammadiyah pada saat itu.
Tesis ini berhasil dikembangkan menjadi penelitian yang lebih mendalam dan menjadi bahan pertimbangan penting ketika pimpinan pusat Muhammadiyah mengusulkan Ki Bagus Hadikusum sebagai pahlawan nasional.
Sudarnoto berkesempatan mendapat beasiswa dari CIDA untuk melanjutkan studi master (S2) di MCGIll University Kanada. Di sana, ia semakin banyak menuangkan pemikirannya dalam tulisan atau artikel akademis, khususnya mengenai Islam dan politik.
Semasa menempuh program doktoral (S3) di IAIN Jakarta, Sudarnoto mulai mempelajari politik dan Islam di kawasan Asia Tenggara. Dalam disertasinya, ia meneliti Angkatan Pemuda Islam Malaysia (ABIM), sebuah organisasi yang pernah dipimpin oleh Anwar Ibrahim (Perdana Menteri Malaysia saat ini) dan berhasil memperoleh nilai cumlaude.
Sejak saat itu, Sudarnoto semakin produktif dalam menghasilkan karya tulis akademis. Hal ini dibuktikan dengan hadirnya 32 buku dan tiga ensiklopedia yang ditulis secara mandiri maupun bekerjasama dengan peneliti lain. Tiga artikel jurnalnya juga telah terindeks Scopus Q1.
Beliau telah lama menjadi dosen bagi mahasiswa S1 dan S2 di UIN Jakarta serta Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ). Berkat berbagai prestasinya, Sudarnoto akhirnya dianugerahi gelar guru besar dalam bidang sejarah kebudayaan Islam yang proses pengukuhannya akan dilaksanakan pada Rabu (29/11) di Auditorium Harun Nasution, UIN Jakarta.
Agama, kemanusiaan dan perdamaian
Sembari menulis, meneliti dan mengajar, Sudarnoto juga aktif memberikan seminar dan mengamati hasil perkembangan isu global.
Di luar kampus, Sudarnoto merupakan aktivis Muhammadiyah yang aktif di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Pemuda Muhammadiyah, dan Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Saat ini, Sudarnoto menjabat sebagai Wakil Ketua Lembaga Hubungan Luar Negeri dan Kerjasama Luar Negeri (LHKI) PP Muhammadiyah.
Tak hanya itu, Sudarnoto sudah lama aktif di Majelis Ulama Indonesia (MUI). Pada 2016-2022, beliau diangkat menjadi Ketua Komisi Pendidikan dan Kader MUI. Setelah itu, Sudarnoto kini menjabat sebagai Ketua MUI Bidang Hubungan Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional.
Kegiatan dan tugas yang diemban dalam organisasi ini mendorong Sudarnot untuk berinteraksi dengan penelitian bahkan dengan berbagai lembaga internasional di luar negeri, memperluas kajian penelitiannya mengenai isu-isu penting seperti kemanusiaan dan perdamaian internasional.
Sudarnoto merupakan salah satu tokoh MUI yang banyak terlibat dalam menggalakkan diplomasi Washatiyatul Islam, sebuah gagasan moderasi yang dianggap mampu menciptakan perdamaian dan saat ini banyak disebarkan oleh tokoh masyarakat dan organisasi seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. .
Di bidang kemanusiaan, Sudarnoto lebih menaruh perhatian pada persoalan Palestina. Ia kerap menyampaikan pandangannya mengenai isu Palestina-Israel, serta kejahatan terhadap kemanusiaan dan perang yang dilancarkan Israel di Jalur Gaza yang semakin brutal dalam dua bulan terakhir.
Dalam konteks ini, Sudarnoto diberi amanah sebagai ketua panitia pembangunan Rumah Sakit Indonesia Hebron di Tepi Barat Palestina. Sayangnya, pembangunannya terpaksa tertunda karena serangan Israel yang membabi buta.
Sudarnoto mengutuk serangan brutal Israel dan menyebutnya sebagai tindakan genosida. Ia juga tidak pernah berhenti menyuarakan perdamaian dan kemerdekaan bagi rakyat Palestina dan telah menuntut Benyamin Netanyahu ke pengadilan internasional, ICC, dan ICJ.
masalah Islamofobia
Sebelum dikukuhkan sebagai guru besar, Sudarnoto menyiapkan penelitian dengan topik “Krisis Global: Kajian Sejarah dan Ciri-ciri Islamofobia”. Dalam penelitiannya, Sudarnoto menemukan bahwa Islamofobia tidak hanya menyerang agama, tapi juga kemanusiaan.
Islamofobia terbagi menjadi lima jenis dalam tulisan Sudarnot berdasarkan ciri-cirinya, dan ternyata salah satu jenisnya justru terjadi di Indonesia. Lima Islamofobia tersebut adalah Islamofobia budaya, Islamofobia agama, Islamofobia politik, Islamofobia kemanusiaan, dan Islamofobia genosida.
Oleh karena itu Sudarnoto menganjurkan agar hasil penelitiannya dijadikan bahan pembuatan undang-undang anti Islamofobia. Sudarnoto menyiapkan tim di MUI yang sedang menyusun naskah akademik anti-Islamofobia. Sebab, menurutnya, hanya supremasi hukum yang mampu mengendalikan, mengawasi, dan mematikan kran Islamofobia.
Temukan berita terkini tepercaya dari kantor berita politik RMOL di berita Google.
Mohon mengikuti klik pada bintang.
Quoted From Many Source